Nganjuk, BK – Dunia pendidikan kembali diguncang. Di tubuh SMAN 2 Nganjuk, Jawa Timur, terkuak praktik pungutan uang berkedok “sumbangan pendidikan”. Setiap siswa diwajibkan membayar Rp850.000 per semester, dan dengan total 1.055 siswa pada tahun ajaran 2024/2025, uang yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp896.750.000 per semester, atau hampir Rp1,8 miliar per tahun.

Pemungutan tersebut dilakukan secara seragam, dengan nominal tetap dan tenggat waktu yang ditetapkan sekolah. Meski disebut “sumbangan”, pola pelaksanaannya telah menghapus unsur sukarela dan menegaskan adanya indikasi pungutan liar (pungli).

Plt Kepala Sekolah Bowo berada di posisi tanggung jawab tertinggi dalam pengelolaan administrasi dan keuangan sekolah. Ia menjadi figur sentral dalam praktik yang kini memicu sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas tata kelola pendidikan negeri.

Menanggapi isu tersebut, Humas SMAN 2 Nganjuk, Rahman, menyatakan bahwa tidak ada unsur pemaksaan dalam penarikan dana itu.

“Sumbangan itu sifatnya sukarela. Tidak ada paksaan kepada siswa atau wali murid,” ujar Rahman.

Namun, meskipun tidak ada pengakuan adanya tekanan langsung, indikasi pelanggaran hukum tetap sangat kuat. Sebab, secara normatif, penggunaan istilah “sumbangan” tidak dapat dijadikan tameng hukum jika praktiknya bersifat seragam, ditetapkan nominal, dan diwajibkan kepada seluruh siswa.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, Pasal 10 ayat (2) menegaskan bahwa:

“Sumbangan pendidikan bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak ditentukan besarannya maupun jangka waktunya.”

Fakta di lapangan menunjukkan kebalikan: nominal ditentukan, jangka waktu ditetapkan, dan pembayaran dilakukan serentak setiap semester. Artinya, unsur “sukarela” telah gugur, dan sumbangan itu secara hukum berubah menjadi pungutan wajib tanpa dasar hukum.

Regulasi lain, yakni Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012, juga menegaskan bahwa satuan pendidikan negeri dilarang memungut biaya dari peserta didik untuk kegiatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Secara hukum pidana, praktik tersebut mengandung unsur pelanggaran sebagaimana diatur dalam:

Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi — pejabat yang memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dapat dijerat pidana.

Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, jika terdapat tekanan moral atau administratif terhadap siswa yang tidak membayar.

Pasal 423 KUHP, yang menegaskan hukuman bagi pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memungut sesuatu yang tidak semestinya.

Dalam ranah administrasi pemerintahan, tindakan ini juga melanggar UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terutama pasal mengenai penyalahgunaan wewenang.

Pakar hukum pendidikan menilai bahwa pernyataan “tidak ada penekanan” dari pihak sekolah tidak menghapus potensi pidana, karena unsur pemaksaan dalam hukum tidak harus berbentuk ancaman langsung. Pemaksaan bisa berbentuk kewajiban administratif, seperti pencatatan, batas waktu, atau tekanan sosial di lingkungan sekolah.

Dengan potensi dana hampir Rp1,8 miliar per tahun yang tidak tercatat dalam sistem keuangan resmi, praktik ini masuk dalam wilayah high-risk corruption, berpotensi merugikan masyarakat dan negara, serta menyalahi prinsip pengelolaan dana pendidikan publik.

Jika benar terbukti, maka Plt Kepala Sekolah Bowo, komite sekolah, dan pihak yang turut mengatur mekanisme pungutan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Karena di mata hukum, setiap rupiah yang dikutip tanpa dasar regulasi adalah bentuk penyalahgunaan jabatan, dan ketika itu dilakukan di lingkungan sekolah negeri, maka bukan hanya administrasi yang runtuh, moral pendidikan pun ikut roboh.