Tuban – Komitmen tegas Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk “sikat habis” beking dan mafia tambang ilegal, kini dihadapkan pada ujian terberatnya di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Pasalnya, di wilayah yang dikenal sebagai Bumi Wali ini, penambangan material pasir silika ilegal (PETI) justru dilaporkan merajalela, berjalan mulus, dan kebal hukum, seolah menertawakan janji penegakan hukum di Ibu Kota.

Aktivitas pengerukan masif di berbagai lokasi, termasuk Desa Wadung, Kecamatan Soko, bukan hanya merugikan negara triliunan rupiah dari potensi pajak dan royalti (PNBP), tetapi juga secara terang-terangan mencuri hak rakyat dengan menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi untuk operasional alat berat komersial mereka.

Sorotan utama tertuju pada pengelola tambang ilegal, yang diduga Yudi. Sebab Keberaniannya untuk beroperasi tanpa hambatan telah memicu kecurigaan serius. Ia dikabarkan merasa kebal hukum lantaran berlindung di balik nama familinya yang merupakan mantan narapidana terorisme (napiter) terkenal.

Jika informasi ini benar, maka ini adalah tamparan keras, bukan hanya bagi institusi Polri, tetapi juga bagi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan negara. Bagaimana mungkin nama seseorang yang pernah terlibat dalam kejahatan keamanan negara kini diduga dipakai sebagai tameng untuk kejahatan ekonomi dan lingkungan? Ini menunjukkan kerentanan sistem keamanan dan penegakan hukum kita.

Kritik Tajam: Kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) Tuban dan Jatim Dipertanyakan
Kegagalan penindakan di Tuban memunculkan pertanyaan kritis dan lugas terhadap kinerja semua pihak yang berwenang.

Laporan masyarakat dan pemberitaan media mengenai aktivitas PETI yang merusak seakan diabaikan begitu saja.
Dugaan adanya “aliran dana atensi” (suap) menjadi tudingan paling mematikan.

Masyarakat menuding inaksi APH, khususnya Polres Tuban, adalah bukti bahwa “duit suap lebih berharga daripada keadilan rakyat dan kelestarian lingkungan.” Tandasnya

Selain itu, Fakta di lapangan menyebutkan bahwa oknum polisi setempat bahkan secara terang-terangan memburu wartawan atau alamat media yang memberitakan tambang ilegal, alih-alih memburu pelaku kejahatan lingkungan. Namun justru, Para pejabat tinggi di tingkat Polda Jatim dan institusi Polri dituding “kompak tidak menggubris” pemberitaan masif ini.

Sikap diam ini menimbulkan persepsi bahwa kasus tambang di Tuban adalah “zona merah” yang sengaja dibiarkan, atau bahkan, dugaan bekingan meluas hingga ke tingkat “jenderal” yang membuat seluruh rantai komando terpaksa menutup mata.

Padahal Maraknya tambang ilegal ini sudah jelas-jelas merusak jalan umum, mengancam lingkungan, dan merugikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) diduga dibiarkan tanpa sanksi tegas.

DPRD Tuban sendiri telah menyoroti kerugian PAD hingga miliaran rupiah. Sikap “bungkam” dari pemerintah daerah di tengah kerusakan yang nyata adalah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan pembangunan.

Dan terkait perkara ini tentunya Kepercayaan Publik di Ujung Tanduk! Pasalnya Kasus Tuban ini adalah tamparan keras bagi wajah penegakan hukum di Indonesia dan menjadi ujian nyata bagi ketegasan Presiden Prabowo Subianto.

Sebab Jika komitmen “sikat habis” hanya berlaku di pusat, sementara di daerah mafia-mafia ini dibiarkan merajalela lantaran diduga berkat ‘dana atensi’ dan ‘bekingan’, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah baru akan tergerus habis.

Publik menantikan penindakan, bukan sekadar penutupan sementara. Penindakan harus mencakup penjeratan pelaku dengan pasal berlapis: UU Minerba (Pasal 158), UU Migas (Pasal 55) terkait penyalahgunaan BBM bersubsidi, dan yang paling krusial, UU Tindak Pidana Korupsi (Pasal 5) terkait dugaan suap kepada APH.

Tuban harus menjadi titik balik. Pembuktian komitmen negara untuk menjaga sumber daya alam dan menegakkan keadilan harus dimulai dengan membersihkan ‘sarang mafia’ dan ‘beking’ yang diduga bersemayam di lingkungan APH setempat. Kegagalan menindak tegas kasus ini akan dicatat sebagai kegagalan negara dalam melawan kejahatan terorganisir.