Jombang, BK – Nama Masrum, Kepala Desa Bedahlawak, Kecamatan Tembelang, kini menjadi sorotan tajam publik. Di bawah kepemimpinannya, kebijakan iuran sampah yang diterapkan desa justru beraroma pungutan liar.
Warga dipaksa membayar Rp10 ribu per bulan untuk layanan sampah, padahal tarif resmi berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Jombang hanya Rp2.500 per rumah tangga per bulan.
Dari total iuran itu, hanya Rp2.500 disetorkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Sisanya — Rp7.500 per rumah tangga — dikelola sendiri oleh perangkat desa. Dana tersebut digunakan untuk “operasional”, termasuk gaji petugas sampah Rp3 juta per bulan dan biaya armada, tanpa satu pun Peraturan Desa (Perdes) yang sah sebagai dasar hukum.
Namun alih-alih bertanggung jawab, Masrum justru bersembunyi di balik alasan klasik: “sudah hasil sosialisasi warga.”
Dalih ini bukan hanya lemah, tapi juga memperlihatkan ketidaktahuan, atau justru kesengajaan, untuk memelintir hukum demi keuntungan lokal.
Padahal, Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebut tegas: Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Demikian pula Permendagri Nomor 111 Tahun 2014, yang menegaskan bahwa setiap pungutan desa harus memiliki dasar hukum dan tidak boleh menyalahi Perda Kabupaten.
Dengan demikian, langkah yang diambil Masrum bukan hanya cacat prosedur, tapi juga melanggar hukum.
Jika pungutan dilakukan tanpa dasar peraturan yang sah, maka tindakan tersebut masuk kategori pungutan liar (pungli), bahkan berpotensi melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.
Seorang pakar hukum administrasi publik menilai, apa yang dilakukan Kades Masrum bukan bentuk musyawarah, melainkan manipulasi kesepakatan untuk memungut uang rakyat secara ilegal.
“Kesepakatan tanpa dasar hukum tidak sah. Pemerintah desa tidak bisa seenaknya menetapkan tarif di luar Perda. Itu bukan aspirasi warga, itu penyalahgunaan kekuasaan,” tegasnya.
Lebih ironis lagi, hingga kini tidak ada langkah pengawasan dari Camat Tembelang maupun Inspektorat Kabupaten Jombang.
Pembiaran semacam ini menandakan lemahnya fungsi kontrol dan membuka ruang bagi kepala desa untuk bertindak seolah hukum bisa dinegosiasikan di meja rapat warga.
Kebijakan Kades Masrum tidak hanya menyalahi administrasi, tapi menggerogoti kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan desa.
Bagaimana mungkin pejabat publik yang digaji negara justru menabrak hukum yang ia sumpah untuk jalankan?
Masrum harus bertanggung jawab.
Audit menyeluruh harus dilakukan, laporan keuangan harus dibuka, dan setiap rupiah yang dipungut di luar ketentuan hukum harus dipertanggungjawabkan.
Rakyat Bedahlawak berhak tahu ke mana uang mereka mengalir. Karena menolak lupa berarti menolak kebohongan yang dibungkus musyawarah.
Ketika hukum bisa dibeli dengan kata “sepakat”, maka yang mati bukan cuma aturan, tapi juga akal sehat demokrasi di desa. [Red]

Tim Redaksi