Gresik, BK – Ketika publik menagih keterbukaan, Kepala SMAN 1 Sangkapura, Suwandi, justru menunjukkan wajah asli birokrasi pendidikan yang tertutup dan angkuh.
Saat dikonfirmasi mengenai program bantuan revitalisasi SMA tahun 2025, ia memilih bungkam dan merendahkan profesi jurnalistik, bukannya menjawab secara substantif sebagaimana amanat undang-undang.

Konfirmasi resmi dilakukan pada jumat (24/10/2025), Namun, alih-alih menjelaskan kepada publik, Suwandi justru menanggapi dengan nada merendahkan, menjawab, “Memang dia siapa? Kok banyak bertanya seperti inspektorat saja 🙏,” ketus Suwandi.
Kalimat singkat itu seolah sederhana, namun sarat makna: arogansi pejabat publik yang menolak diawasi dan meremehkan profesi wartawan.
Padahal hak pers untuk memperoleh informasi dijamin jelas oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 ayat (3):
“Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.”
Dalam upaya menjalankan fungsi kontrol sosial, jurnalis MPN mengajukan enam pertanyaan resmi kepada Suwandi.
Semua menyangkut hal yang seharusnya mudah dijawab jika pengelolaan dana berjalan sesuai aturan.
Namun hingga kini, tidak satu pun direspons.
Berikut pertanyaan yang diabaikan Suwandi:
1. Transparansi Anggaran.
Berapa nilai pasti bantuan revitalisasi yang diterima SMAN 1 Sangkapura, dan kapan dana tersebut dicairkan?
2. Penggunaan Dana dan Struktur Tim.
Mengapa hingga kini belum ada keterbukaan mengenai penggunaan anggaran, serta siapa saja anggota tim pelaksana swakelola di sekolah?
3. Keterlambatan dan Potensi Penyimpangan. Apakah benar terjadi keterlambatan pelaksanaan atau penyimpangan penggunaan anggaran setelah sekolah ditetapkan sebagai penerima program revitalisasi 2025?
4. Tanggung Jawab Teknis.
Siapa Pejabat Pengelola Teknis Kegiatan (PPTK) dan siapa pihak yang menandatangani Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan (BAPHP) untuk tahap I?
5. Sinkronisasi Data Keuangan.
Apakah laporan realisasi fisik di lapangan telah sinkron dengan progres keuangan di aplikasi OM-SPAN dan SIMBANSOS per September 2025?
6. Uji Mutu Material.
Dari hasil uji mutu material seperti beton, pasir, dan baja yang dilaporkan, mana sertifikat laboratoriumnya dan siapa pihak yang melakukan pengujian?
Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana, rasional, dan menyangkut hak publik untuk tahu. Namun Suwandi memilih bungkam, bahkan sempat menulis kalimat yang menutup ruang diskusi:
“Semua masyarakat, media, LSM yang ada di Bawean sudah mengetahui semuanya 🙏”
Pernyataan itu justru memperkuat kesan bahwa transparansi tidak pernah benar-benar dijalankan.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), Suwandi terikat oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang menegaskan:
“Setiap badan publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.”
Namun, sikap bungkam dan nada menghina terhadap wartawan justru memperlihatkan pembangkangan terhadap prinsip dasar akuntabilitas.
Ia lupa bahwa jabatan kepala sekolah bukan benteng kekuasaan, melainkan amanah publik yang wajib diaudit dan diawasi.
Kini publik berhak bertanya: Apa yang sebenarnya disembunyikan di SMAN 1 Sangkapura? Mengapa kepala sekolah justru menolak membuka data terkait uang negara?
Pernyataan Suwandi dinilai melecehkan profesi jurnalistik dan mengancam kemerdekaan pers. Reaksi keras pun muncul dari kalangan jurnalis, aktivis pendidikan, dan masyarakat sipil. Sikap arogan pejabat pendidikan seperti ini dinilai mengkhianati nilai dasar integritas pendidikan.
Kini sorotan publik tertuju pada Dinas Pendidikan Jawa Timur, Inspektorat, dan Aparat Penegak Hukum. Bila ketertutupan ini terus dibiarkan, maka kredibilitas sistem pendidikan negeri akan runtuh dari dalam.
Media ini menegaskan akan terus menelusuri fakta lapangan: mulai dari data proses pengajuan, laporan swakelola, progres keuangan di OM-SPAN dan SIMBANSOS, hingga dokumen teknis revitalisasi.
Setiap rupiah dari uang rakyat harus memiliki jejak yang jelas. Dan setiap pejabat publik harus siap dimintai pertanggungjawaban.
Sebab diam di hadapan pertanyaan publik bukan bentuk kehati-hatian, melainkan tanda ketakutan.
Dan di negeri ini, ketakutan terhadap transparansi adalah awal dari kebusukan.

Tim Redaksi