Lamongan, BK – Awan gelap kembali menyelimuti penggunaan Dana Desa tahun 2024 di Desa Botoputih, Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan. Kepala Desa Rudi Santoso kini menjadi sorotan tajam setelah terungkap adanya dua proyek identik senilai Rp100 juta untuk kegiatan “Rehabilitasi/Peningkatan/Pengadaan Sarana/Alat Peraga Edukatif (APE) PAUD/TPQ/Madrasah Non-Formal Milik”.
Total dana yang digelontorkan mencapai Rp200 juta, namun keduanya tercatat dengan nomenklatur serupa.
Modus pemecahan kegiatan seperti ini kerap dipakai untuk menghindari mekanisme pengadaan yang ketat, sekaligus memperlemah sistem pengawasan publik terhadap penggunaan anggaran desa.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, Kepala Desa Botoputih, Rudi Santoso, memilih bungkam. Konfirmasi yang dikirimkan lewat pesan dan panggilan telepon tidak direspons sama sekali, Sikap diam ini justru memperkuat dugaan adanya ketidakwajaran dalam pengelolaan dana desa.
Tak berhenti di situ, dugaan penyimpangan juga mengarah pada proyek Pembangunan/Rehabilitasi/Peningkatan Sumber Air Bersih Milik Desa berupa pengeboran sumur dalam yang menelan anggaran Rp139.642.000 dari APBDes 2024.
Ironisnya, proyek tersebut dikerjakan tanpa mengantongi izin resmi dari instansi terkait, padahal syarat itu bersifat mutlak.
Sesuai ketentuan, pembangunan sumur bor wajib memiliki Surat Izin Pengambilan dan/atau Pemanfaatan Air Tanah (SIPA) yang diterbitkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Timur.
Ketentuan ini diatur jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah serta diperkuat oleh Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Air Tanah.
Namun fakta di lapangan berbicara lain. Sumur bor di Desa Botoputih tidak memiliki SIPA, tidak memiliki dokumen AMDAL maupun UKL-UPL, dan tidak melibatkan pengawasan teknis Dinas ESDM.
Langkah nekat ini bukan hanya melanggar prosedur, tapi juga mengancam keselamatan lingkungan dan melanggar hukum.
Ketidakhadiran izin dan dokumen lingkungan menunjukkan kelalaian fatal Kepala Desa Rudi Santoso dalam menjalankan tata kelola keuangan desa.
Sebagai penanggung jawab tertinggi pelaksanaan APBDes, Rudi seharusnya memastikan setiap proyek berjalan sesuai regulasi dan izin teknis, bukan sekadar menggugurkan kewajiban laporan kegiatan.
“Kalau memang untuk kepentingan masyarakat, justru harus transparan dan legal. Jangan sampai proyeknya besar tapi tak ada izinnya,” ujar salah satu tokoh masyarakat yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Hingga kini, belum ada klarifikasi terbuka dari Pemerintah Desa Botoputih maupun Kecamatan Tikung.
Publik menuntut Inspektorat Kabupaten Lamongan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) segera turun tangan, memeriksa alur dana, izin, dan mekanisme pelaksanaan seluruh kegiatan desa tahun 2024.
Kasus ini menjadi cermin bahwa di tengah semangat transparansi dana desa, masih ada kepala desa yang bertindak seolah anggaran publik adalah milik pribadi.

Tim Redaksi